8/21/2010

DEMI RAIHAN DANA BOS, KEPALA SEKOLAH ABAIKAN KAPASITAS SEKOLAH, MUTU DIKORBANKAN

DENGAN adanya bantuan BOS yang sudah beberapa tahun ini dikucurkan ke sekolah-sekolah, negeri maupun swasta, SD/MI s/d SMP/MTs, selain menjadi berkah tersendiri dalam pelaksanaan KBM (Kegiatan Belajar Mengajar), karena dicukupkannya anggaran operasional sekolah tanpa susah-susah mencari dana sendiri melalui sumbangan pendidikan dari orang tua, juga mempunyai dampak lain yang sungguh memprihatinkan, khususnya dalam pencapaian target pendidikan yang berkualitas dan kompeten sesuai jenjangnya.

Betapa tidak, karena sebagaimana diketahui, jumlah besarnya dana BOS yang diterima sekolah didasarkan atas jumlah siswa yang dimiliki oleh sekolah tersebut. Semakin besar jumlah siswa suatu sekolah, maka semakin besar pula dana BOS yang diterimanya.

Kenyataan ini memunculkan fenomena baru di sekolah-sekolah yang berdampak terabaikannya kualitas pendidikan. Muncul ambisi dan keserakahan para pengelola sekolah. Tanpa memikirkan kapasitas ruangan kelas, jumlah tenaga guru maupun sarana-sarana sekolah, tidak sedikit para pengelola sekolah, khususnya menjelang PSB (Penerimaan Siswa Baru) berlomba-lomba mencari siswa baru sebanyak-banyaknya.

Atas nama pencarian dan pengumpulan siswa baru yang sebanyak-banyaknya tersebut pada akhirnya para pengelola sekolah banyak yang terjebak dalam persaingan yang tidak sehat. Melalui iming-iming beragam fasilitas dari sekolah, yang nota bene merupakan bantuan pemerintah seperti BSM (Bantuan Siswa Miskin), BOS Propinsi dan lain-lain yang diterima sekolah menjadi alat pembenaran keserakahan para pengelola sekolah. Sementara urusan daya tampung atau kapasitas sekolah menjadi terabaikan., ujung-ujungnya urusan kualitas pendidikan menjadi nomor dua, nomor tiga dan seterusnya. Anak didikpun dikorbankan!

Pengamatan kami di lapangan, melalui kunjungan ke beberapa sekolah ditemukan sekolah-sekolah yang mempunyai jumlah siswa didik pada satu kelas dalam jumlah sangat banyak melebihi fasilitas yang tersedia. Akibatnya para siswa belajar berdesak-desakan, satu meja ditempati tiga orang siswa. Tentu saja kenyamanan belajar menjadi terabaikan, daya serap anak terhadap pelajaran menjadi tidak fokus, guru harus mengajar berteriak-teriak, belum lagi karena jumlah terlalu banyak, siswa menjadi sulit untuk diperhatikan dan dikendalikan oleh guru.

Akibatnya, dengan kondisi seperti ini rasanya sangat sulit sekali untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Yang ada malah kegaduhan, kekacauan proses pembelajaran dan efek-efek psikologis lainnya yang akan berdampak buruk pada anak dikemudian hari.

Disisi lain, banyak juga sekolah-sekolah yang meskipun fasilitasnya tidak kalah dengan sekolah yang lain yang jumlah siswanya besar, malah kekurangan siswa. sehingga fasilitas yang dimilikinya tidak termanfaatkan dengan baik.

Menyikapi kenyataan seperti ini, agar anggaran BOS dapat dipergunakan dengan baik, tepat sasaran, efektif dan effisien dalam penggunaannya, diperlukan campur tangan pemerintahan setempat, terutama para kepala desa/kelurahan untuk mengatur kuota penerimaan siswa baru di suatu desa/kelurahan. Sehingga diharapkan terjadi pemerataan jumlah siswa didik di setiap sekolah.

Para kepala sekolahpun bilamana diperlukan dikenakan sanksi yang tegas bila melanggar aturan tersebut, mutasi bagi PNS bisa dijadikan salah satu bentuknya. Kepala desa/kelurahan selayaknya diberi peran yang dominan dalam pengendalian mnajemen pendidikan.

Arogansi kepala sekolah, karena bisa mengatur sendiri anggaran sekolah dari dana BOSnya, harus segera dihentikan. Sekolah jangan dijadikan ajang unjuk kekuasaan/power, sekolah tempat belajar dan mengajar demi mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai amanat pancasila dan UUD 1945.

GURU PNS NYAMBI DI SEKOLAH SWASTA, LUPA TUGAS POKOK

GURU PNS NYAMBI DI SEKOLAH SWASTA,
LUPA TUGAS POKOK, RAKYAT DIRUGIKAN!

BETAPA nikmatnya jadi guru PNS, gaji pokok di atas rata-rata. Bayangkan saja gaji pokok untuk kualifikasi sarjana/S1, golongan 3a paling tidak menerima 1,5 juta rupiah bulan, ditambah tunjangan fungsional 250 ribu per bulan dan ditambah uang lauk pauknya, total untuk golongan 3a saja bisa mendapatkan sekitar 2,5 jutaan minimal per bulan. Apalagi kalau guruPNS tersebut sudah lulus sertifikasi guru dalam jabatan., tentu saja ditambah lagi koceknya 2 juta rupiah perbulan. Hitung-hitungan bisa mencapai 4 – 5 jutaan per bulan.

Realita di lapangan tidak sedikit guru PNS yang menggadaikan SKnya di Bank, dengan besar pinjaman yang puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Tentu saja untuk membayar pinjaman tersebut darimana lagi kalau bukan dari potong gaji, yang jumlahnya rata-rata lumayan besar. Akibatnya gaji yang tersisa menjadi kecil sekali, bahkan ada yang menerima gaji hanya tersisa 200 ribu rupiah per bulan. Jadi...jangankan untuk biya hidup per bulan, seminggu saja tidak cukup.

Implikasinya, sang guru PNS tersebut sibuk cari objekan kesana kemari, lupa tugas pokoknya sebagai pegawai negeri sipil yang digaji pemerintah. Pilihannya, demi menambah penghasilan akibat keserakahannya, nyambi ngajar di sekolah-sekolah swasta tanpa menghiraukan tugas pokoknya di sekolah negeri yang menjadi kewajibannya. Efeknya tentu saja anak didik di sekolah negeri menjadi terbengkalai. Sang guru PNS tersebur sibuk ngajar di sekolah swasta.

Makan gaji buta dari pemerintah menjadi lumrah, tanpa ada perasaan bersalah sedikitpun. Urusan kode etik guru, beban mengajar bisa diatur atur asal kompromistis dengan sang kepala sekolahnya. Jumlah jam mengajar untuk guru profesional yang seharusnya 24 jam per hari hanya catatan di atas kertas saja. Beban mengajar bisa ditimpakan kepada guru honorer yang mengajar di sekolah negeri maupun swasta, yang penting ada bukti fisik ngajar 24 jam per hari.

Tinggallah guru honorer yang menjadi sapi perahan sang guru PNS tersebut dengan nasib yang belum jelas. Sang kepala sekolah karena selalu mendapat limpahan dana dari sang guru PNS tentu saja berpihak pada guru PNS tersebut. Segalanya diperhatikan.

Keberpihakan pemerintahpun setali tiga uang, seperti menutup mata akan kondisi seperti ini. Nasib guru honorer kurang mendapat perhatian. Terjadi diskriminasi fasilitas antara guru PNS dan guru honorer. Guru honorer meskipun dengan jumlah jam mengajar yang seringkali lebih banyak dari guru PNS, bahkan tidak sedikit guru honorer yang sudah mengabdi puluhan tahun tidak mendapat prioritas perhatian sama sekali dari pemerintah.

Memang guru honorer mendapat fasilitas tunjangan fungsional guru, juga dikut sertakan dalam program sertifikasi guru, akan tetapi tetap saja prioritas utama guru PNS terlebih dahulu. Penyaluran tunjangan fungsional guru dan tunjangan profesi guru bagi guru PNS lebih diutamakan atau didahulukan, baru kemudian guru honorer yang napasnya sudah ngosngosan akibat beban hidup yang mendera, dengan lilitan utang kemana-mana akibat iming-iming tunjangan fungsional dan tunjangan profesi guru yang tidak jelas kepastian penyalurannya.

Apakah memang guru PNS sang idola? Guru pahlawan tanpa tanda jasa? Atau.....guru honorer yang memang selalu terbiasa hidup sengsara dan menjadi objek rekayasa? Yah.....mudah-mudahan pemerintah lebih objektif menyikapi kondisi ini dengan adil dan bijaksana. Wallohu’alam....

8/20/2010

KETIKA BANTUAN PENDIDIKAN TIDAK TEPAT WAKTU

BANTUAN pemerintah untuk sektor pendidikan sudah baik, harus terus dipertahankan dan dijaga konsistensinya jangan sampai putus di tengah jalan. Hanya yang harus segera diperbaiki dan dibenahi adalah ketetapan waktu dalam penyaluran bantuan tersebut serta penyederhanaan dalam penyalurannya.

Seringkali terjadi bantuan hanya sekedar terpenuhi target, tanpa mempertimbangkan KETEPATAN WAKTUNYA, sehingga meskipun bantuan itu baik dan diperlukan menjadi tersia-siakan, bahkan bagi rakyat kecil bantuan menjadi bias dan menambah penderitaan berkepanjangan.

Bantuan Operasional Sekolah (BOS), alangkah mulyanya jika bantuan tersebut disalurkan TEPAT WAKTU, apakah triwulanan atau bulanan terserah, asalkan sekali lagi TEPAT WAKTU, misal setiap tanggal 1,2 dstnya untuk setiap bulannya.

Penerima bantuan melalui penyaluran yang tepat waktu, tentu saja tidak akan kesulitan dalam penggunaannya, juga jauh lebih penting akan terhindar dari pemborosan dan ketidak efesienan penggunaan anggran.

Karena kita tahu, kalau penyaluran tidak tepat waktu, realitas di lapangan biasanya si pengguna mencari dana talangan ke mana-mana. Konsekuensinya, umumnya dana talangan tidak gratis begitu saja, harus ada lebihnya! Sehingga berakibat pembengkakan anggaran dan menjadi biang keladi penyimpangan/mark up anggaran. Ini bahaya dan harus segera dihentikan!

Dengan ketepatan waktu dalam penyaluran bantuan, bagi bantuan apapun juga, BOS, Tunjangan Fungsional Guru, Tunjangan Profesi Guru, maupun bantuan-bantuan sarana fisik sekolah maupun penunjang sarana KBM (Kegiatan Belajar Mengajar), penggunaan bantuan menjadi optimal, efektif dan effesien, serta terhindar dari pemborosan dan penyimpangan yang membahayakan kredibilitas bantuan tersebut. Selain itu, tujuan mulya bantuan menjadi Rahmatan lil Alamin....Sarana penguatan yang diterima dengan rasa syukur dan ikhlas, berapapun bantuan itu diterimakan.

Tepat waktu dalam penyaluran, juga diharapkan bantuan yang disalurkan sederhana dalam mekanisme penyaluran. Artinya, kalau masih bisa dipermudah dalam transparansi dan akuntabilitas penyalurannya, kenapa harus dipersulit!?

Sederhananya, bantuan disalurkan melalui satu, bukan dua, atau tiga rekening sekolah. Karena kalau setiap macam bantuan disalurkan melalui rekening yang berbeda-beda, ini pemborosan, membuka rekening tidak gratis, juga dengan banyaknya rekening yang ada di sekolah membuka peluang main kucing-kucingan anggaran untuk sang kepala sekolah, yang ujung-ujungnya menjadi peluang korupsi lagi. Serta sang kepala sekolahpun menjadi pusing dan kebingungan untuk menyusun LPJ (Laporan Pertanggung Jawaban)nya.