GURU PNS NYAMBI DI SEKOLAH SWASTA,
LUPA TUGAS POKOK, RAKYAT DIRUGIKAN!
BETAPA nikmatnya jadi guru PNS, gaji pokok di atas rata-rata. Bayangkan saja gaji pokok untuk kualifikasi sarjana/S1, golongan 3a paling tidak menerima 1,5 juta rupiah bulan, ditambah tunjangan fungsional 250 ribu per bulan dan ditambah uang lauk pauknya, total untuk golongan 3a saja bisa mendapatkan sekitar 2,5 jutaan minimal per bulan. Apalagi kalau guruPNS tersebut sudah lulus sertifikasi guru dalam jabatan., tentu saja ditambah lagi koceknya 2 juta rupiah perbulan. Hitung-hitungan bisa mencapai 4 – 5 jutaan per bulan.
Realita di lapangan tidak sedikit guru PNS yang menggadaikan SKnya di Bank, dengan besar pinjaman yang puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Tentu saja untuk membayar pinjaman tersebut darimana lagi kalau bukan dari potong gaji, yang jumlahnya rata-rata lumayan besar. Akibatnya gaji yang tersisa menjadi kecil sekali, bahkan ada yang menerima gaji hanya tersisa 200 ribu rupiah per bulan. Jadi...jangankan untuk biya hidup per bulan, seminggu saja tidak cukup.
Implikasinya, sang guru PNS tersebut sibuk cari objekan kesana kemari, lupa tugas pokoknya sebagai pegawai negeri sipil yang digaji pemerintah. Pilihannya, demi menambah penghasilan akibat keserakahannya, nyambi ngajar di sekolah-sekolah swasta tanpa menghiraukan tugas pokoknya di sekolah negeri yang menjadi kewajibannya. Efeknya tentu saja anak didik di sekolah negeri menjadi terbengkalai. Sang guru PNS tersebur sibuk ngajar di sekolah swasta.
Makan gaji buta dari pemerintah menjadi lumrah, tanpa ada perasaan bersalah sedikitpun. Urusan kode etik guru, beban mengajar bisa diatur atur asal kompromistis dengan sang kepala sekolahnya. Jumlah jam mengajar untuk guru profesional yang seharusnya 24 jam per hari hanya catatan di atas kertas saja. Beban mengajar bisa ditimpakan kepada guru honorer yang mengajar di sekolah negeri maupun swasta, yang penting ada bukti fisik ngajar 24 jam per hari.
Tinggallah guru honorer yang menjadi sapi perahan sang guru PNS tersebut dengan nasib yang belum jelas. Sang kepala sekolah karena selalu mendapat limpahan dana dari sang guru PNS tentu saja berpihak pada guru PNS tersebut. Segalanya diperhatikan.
Keberpihakan pemerintahpun setali tiga uang, seperti menutup mata akan kondisi seperti ini. Nasib guru honorer kurang mendapat perhatian. Terjadi diskriminasi fasilitas antara guru PNS dan guru honorer. Guru honorer meskipun dengan jumlah jam mengajar yang seringkali lebih banyak dari guru PNS, bahkan tidak sedikit guru honorer yang sudah mengabdi puluhan tahun tidak mendapat prioritas perhatian sama sekali dari pemerintah.
Memang guru honorer mendapat fasilitas tunjangan fungsional guru, juga dikut sertakan dalam program sertifikasi guru, akan tetapi tetap saja prioritas utama guru PNS terlebih dahulu. Penyaluran tunjangan fungsional guru dan tunjangan profesi guru bagi guru PNS lebih diutamakan atau didahulukan, baru kemudian guru honorer yang napasnya sudah ngosngosan akibat beban hidup yang mendera, dengan lilitan utang kemana-mana akibat iming-iming tunjangan fungsional dan tunjangan profesi guru yang tidak jelas kepastian penyalurannya.
Apakah memang guru PNS sang idola? Guru pahlawan tanpa tanda jasa? Atau.....guru honorer yang memang selalu terbiasa hidup sengsara dan menjadi objek rekayasa? Yah.....mudah-mudahan pemerintah lebih objektif menyikapi kondisi ini dengan adil dan bijaksana. Wallohu’alam....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar